TRIAS POLITICA
Trias Politica (pertama kali dikembangkan oleh John Locke, kemudian ‘disempurnakan’ oleh Montesquieu) dilandasi oleh pemikiran bahwa kekuasaan yang memusat padapihak tertentu akan cenderung disalahgunakan. Oleh karena itu, muncul ide agar kekuasaan negara dipilah, dipisah, dan dibagikan kepada lembaga negara yang berbeda, sehingga ada mekanisme kontrol secara sistemik. Trias Politica(pemisahan kekuasaan) adalah sebuah ide bahwa sebuah pemerintahan berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas, mencegah satu orang atau kelompok mendapatkan kuasa yang terlalu banyak. Pemisahan kekuasaan merupakan suatu cara pembagian dalam tubuh pemerintahan agar tidak ada penyelahgunaan kekuasaan, antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemisahan kekuasaan juga merupakan suatu prinsip normative bahwa kekuasaan-kekuasaan itu sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama, untuk mencegah penyalahugunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Contoh negara yang menerapkan pemisahan kekuasaan ini adalah Amerika Serikat.
Trias politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan yaitu :
1. kekuasaan legislative (membuat undang-undang).
2. kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang).
3. kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili).
Trias politica memiliki prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.
Doktrin ini pertama kali dikenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquie (1689-1755) dan ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan.
Ada perbedaan antara mereka berdua. John Locke memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif, sedangkan Montesquuie memandang kekuasaan pengadilan sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri
Dalam perkembangannya, meskipun ketiga kekuasaan ini sudah dipisah satu dengan lainnya ada kalanya diperlukan check and balance (pengawasan dan keseimbangan) diantara mereka, dimana setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasan lainnya.
Trias Politica merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Pada abad Pertengahan (kira-kira tahun 1000-1500 M), kekuasaan politik menjadi persengketaan antara Monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Kerap kali Eropa kala itu dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik ini. Sebagai koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500 M mulai muncul semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang bertujuan melakukan pemisahan kekuasaan.
Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara harus diberlakukan. Meski pemikiran mereka saling bertolak-belakang, tetapi tinjauan ulang mereka atas relasi kekuasaan negara cukup berharga untuk diperhatikan.
Sejarah Trias Politica
Pada masa lalu, bumi dihuni masyrakat pemburu primitif yang biasanya mengidentifikasi diri sebagai suku. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang kepala suku yang biasanya didasarkan atas garis keturunan ataupun kekuatan fisik atau nonfisik yang dimiliki. Kepala suku ini memutuskan seluruh perkara yang ada di suku tersebut.
Pada perkembangannya, suku-suku kemudian memiliki sebuah dewan yang diisi oleh para tetua masyarakat. Contoh dari dewan ini yang paling kentara adalah pada dewan-dewan Kota Athena (Yunani). Dewan ini sudah menampakkan 3 kekuasaan Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bahkan di Romawi Kuno, sudah ada perwakilan daerah yang disebut Senat, lembaga yang mewakili aspirasi daerah-daerah. Kesamaan dengan Indonesia sekarang adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Namun, keberadaan kekuasaan yang terpisah, misalnya di tingkat dewan kota tersebut mengalami pasang surut. Tantangan yang terbesar kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang berupa melakukan pemisahan kekuasaan. Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan.
Pengawasan terhadap Trias Politica
Dalam rangka menjamin bahwa masing- masing kekuasaan tidak melampaui batas kekuasaannya maka diperlukan suatu sistem checks and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan). Dalam checks and balances system, masing-masing kekuasaan saling mengawasi dan mengontrol. Checks and balances system merupakan suatu mekanisme yang menjadi tolak ukur kemapanan konsep negara hukum dalam rangka mewujudkan demokrasi. Prinsip Check and Balance Upaya pengawasan dan keseimbangan antara badan-badan yang mengatur Trias Politicamemiliki prinsip-prinsip dengan berbagai macam fariasi, misalnya: a)The four branches: legislatif, eksekutif, yudikatif, dan media. Di sini media di gunakan sebagai bagian kekuatan demokrasi keempat karena media memiliki kemampuan kontrol, dan memberikan informasi.b) Di Amerika Serikat, tingkat negara bagian menganut Trias Politica sedangkat tingkat negara adalah badan yudikatif.c)Di Korea Selatan, dewan lokal tidak boleh intervensid)Sementara itu, di Indonesia, Trias Politica tidak di tetapkan secara keseluruhan. Legislatif di isi dengan DPR, eksekutif di isi dengan jabatan presiden, dan yudikatif oleh mahkamah konstitusi dan mahkamah agung.
Konsep Trias Politica
Konsep Trias Politika merupakan ide pokok dalam Demokrasi Barat, yang mulai berkembang di Eropa pada abad XVII dan XVIII . Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan : pertama, kekuasaan legislatif atau membuat undang-undang; kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang; ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Trias Politica menganggap kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin. Konsep ini pertama kali diperkenalkan dibukunya yang berjudul, L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws). Sebelumnya konsep ini telah diperkenalkan oleh John Locke. Filsuf Inggris mengemukakan konsep tersebut dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690), yang ditulisnya sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh Parlemen Inggris.
Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu, dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa seseorang akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat pada tangannya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya Karya Montesqiueau ini hampir diterapkan diseluruh Negara didunia yang menganut Demokrasi termasuk juga Indonesia. Di Negara Komunis yang hanya mempunya satu partai cenderung menjauhi konsep Trias Politica terlihat jelas bahwa bentuk pemerintahan hanya dipegang oleh kalangan partai tunggal tersebut saja, sebut saja China, Korea Utara dan Uni Soviet (masa perang dingin) adalah sejumlah Negara yang menjauhi Trias Politica tak heran jika bentuk pemerintahannya bersifat otoriterian karna tidak adanya pembagian kekuasaan. Beda dengan Negara yang mengenakan sistim Trias Politica. Dengan adanya lembaga Legislatif, kepentingan rakyat dapat terwakili secara baik karma merupakan cermin kedaulatan rakyat. Selain itu lembaga ini juga mempunyai fungsi sebagai check and balance terhadap dua lembaga lainnya agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan dengan begitu jalannya pemerintahan bisa berjalan efektif dan efisien.
John Locke (1632-1704)
Pemikiran John Locke mengenai Trias Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar) dengan judul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri)” dan “memiliki milik (property).” Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut. Negara ada dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari serangan individu lain, demikian tujuan negara versi Locke. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah, kekuasaan yang tidak selalu di tangan satu orang. Menurut Locke, kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif.
Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang. Hal penting yang harus dibuat di dalam undang-undang adalah bahwa masyarakat ingin menikmati miliknya secara damai. Untuk situasi ‘damai’ tersebut perlu terbit undang-undang yang mengaturnya. Namun, bagi John Locke, masyarakat yang dimaksudkannya bukanlah masyarakat secara umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat jelata tidak masuk ke dalam kategori stuktur masyarakat yang dibela olehnya. Perwakilan rakyat versi Locke adalah perwakilan kaum bangsawan untuk berhadapan dengan raja/ratu Inggris.
Eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang. Dalam hal ini kekuasaan Eksekutif berada di tangan raja/ratu Inggris. Kaum bangsawan tidak melaksanakan sendiri undang-undang yang mereka buat, melainkan diserahkan ke tangan raja/ratu.
Federatif adalah kekuasaan menjalin hubungan dengan negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip dengan Departemen Luar Negara di masa kini. Kekuasaan ini antara lain untuk membangun liga perang, aliansi politik luar negeri, menyatakan perang dan damai, pengangkatan duta besar, dan sejenisnya. Kekuasaan ini oleh sebab alasan kepraktisan, diserahkan kepada raja/ratu Inggris, sebagai kekuasaan eksekutif.
Dari pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu simpulan, bahwa dari 3 kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan 1 berada di tangan kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias Politika di masa kini. Pemikiran Locke kemudian disempurkan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu (1689-1755)
Montesqueieu (nama aslinya Baron Secondat de Montesquieu) mengajukan pemikiran politiknya setelah membaca karya John Locke. Buah pemikirannya termuat di dalam magnum opusnya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748. Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai berikut : “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil. Dengan kekuasaan pertama, penguasa atau magistrat mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan kekuasaan kedua, ia membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan keamanan umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan kekuasaan ketiga, ia menghukum penjahat, atau memutuskan pertikaian antar individu-individu. Yang akhir ini kita sebut kekuasaan yudikatif, yang lain kekuasaan eksekutif negara.”
Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya membuat undang-undang. Di masa kini, lembaga tersebut disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of Representative (Amerika Serikat), ataupun House of Common (Inggris).
Eksekutif adalah kekuasaaan untuk melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh Legislatif. Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif ini garis besarnya adalah : Chief of state, Head of government, Party chief, Commander in chief, Chief diplomat, Dispenser of appointments, dan Chief legislators.
Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar masalah hukum berikut : Criminal law (petty offense, misdemeanor, felonies); Civil law (perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law (masalah seputan penafsiran kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi negara); International law (perjanjian internasional).
Indonesia bukan hanya menganut Trias Polica, pemisahan dalam tiga lembaga bahkan lebih dari tiga merujuk kembali pada UUD 1945. Indonesia sudah menganut Penta Politica, bukan sekedar Eksekutif, Legislatif, Yudikatif tetapi juga Advosari (DPA), dan Auditor (BPK), namun setelah terjadi Amanden terhadap UUD 1945, sudah tidak lagi Penta Politica karena DPA sudah dihilangkan.
Indonesia merupakan Negara yang menganut paham trias politica yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa cabang pemerintahan dibagi atas 3 kekuasaan yaitu :
1 . Kekuasaan legislative yaitu DPR=>Pasal 20 ayat (1), memegang kekuasaan membentuk
Undang- undang.
2 .Kekuasaan eksekutif yaitu Presiden=>Pasal 4 ayat (1), memegang kekuasaan pemerintahan
3. Kekuasaan yudikatif yaitu MK&MA=>Pasal 24 ayat (1), memegang kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Trias politica yang dipakai Indonesia saat sekarang ini adalah pemisahan kekuasaan. Salah satu buktinya dalam hal membentuk undang-undang. Sebelum perubahan undang-undang dibentuk oleh presiden, namun setelah perubahan undang-undang dibentuk oleh DPR. Undang-undang diubah satu kali dalam empat tahap. Saat ini presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang. DPR selain memegang kekuasaan membentuk undang-undang, dalam melakukan pengawasan memiliki:
1. Hak angket yaitu menanyakan kepada presiden mengenai hal-hal yang mengganggu kepentingan nasional.
2 .Hak Interperelasi yaitu untuk melakukan penyelidikan.
Dalam menjalankan fungsi eksekutif, presiden dibantu oleh wakil presiden beserta mentri-mentri. Presiden sebagai kepala negara, memiliki kewenangan untuk:
Mengangkat duta dan konsul;
Menempatkan duta negara lain;
Pemberian grasi dan rehabilitasi;
Pemberian amnesty dan abolisi;
Memberi gelar dan tanda jasa.
Sistem presidensil di Indonesia setelah amandemen UUD 1945:
Adanya kepastian mengenai masa jabatan presiden ;
Presiden selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan;
Adanya mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (check and balances);
Adanya mekanisme impeachment/ pemakzulan.
PP dibuat oleh presiden untuk melaksanakan undang-undang, jadi suatu UU tanpa PP belum bisa dilaksanakan. Sedangkan Perpu dibuat dalam hal ikhwal kegentingan Negara. MK&MA memegang kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman diatur pada pasal 24, 24A, 24B, 24C, 25 UU NKRI 1945 dan UU No.4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah bebas dari intervensi ekstra yudisial. Tugas hakim yaitu menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dalam rangka mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam Trias Politica, kekuasaan negara dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) kekuasan untuk membuat undang-undang (legislatif), (2) kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang (eksekutif) dan (3) kekuasaan untuk mengawasi jalannya undang-undang (yudikatif). Di negara yang menerapkan Trias Politica secara ketat, lembaga yang diserahi kekuasaan legislatif adalah Parlemen/DPR, kekuasaan eksekutif dipegang oleh Pemerintah, sedangkan kekuasaan yudikatif dipegang oleh Kehakiman/Peradilan.
Bagaimana dengan Indonesia? Ada yang bilang, Indonesia itu negara yang “bukan bukan”. Bukan kapitalis, bukan sosialis, bukan Blok Barat, bukan Blok Timur, bukan Negara Agama, bukan Negara Ateis, dsb..dst. Itu juga berlaku dalam kaitannya dengan Trias Politica.
Di Indonesia memang ada lembaga DPR, Pemerintah dan Kehakiman/Peradilan, tapi fungsinya bercampur-aduk, khususnya antara DPR dengan Pemerintah. Dalam proses penyusunan undang-undang, pemerintah bisa membuat inisiatif. Demikian juga pembahasannya, dilakukan bersama antara DPR dengan Pemerintah. Jadi, kekuasaan legislatif dipegang bersama oleh DPR dan Pemerintah. Kekuasaan eksekutif juga demikian, yang teori-nya dipegang oleh Pemerintah. Prakteknya, peran DPR dalam penentuan kegiatan dan anggaran (sebagai salah satu aspek terpenting dalam kekuasaan eksekutif) sangat besar. Forum Rapat Dengar Pendapat antara Kementerian dengan DPR pun menimbulkan kesan, bahwa DPR — bukan hanya Presiden– adalah atasan para menteri. Kalau tidak percaya, tanya saja sama para pejabat berbagai Kementerian tentang bagaimana repotnya melayani para anggota DPR itu. Dengan kata lain, seperti halnya kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif pun dipegang secara bersama antara Pemerintah dengan DPR/Parlemen. Kekuasaan yudikatif pun tak ketinggalan diaduk-aduk. Keputusan DPR untuk membentu Panita Kerja (Panja) Keputusan MA, misalnya, menunjukkan bahwa Parlemen di Indonesia juga masuk ke wilayah yudikatif. Jangan lupa juga desakan dan campur tangan yang sangat kuat dari DPR kepada KPK dalam penanganan beberapa kasus (mis: Kasus Bank Century), yang semakin memperkuat sinyalemen bahwa di Indonesia lembaga Kehakiman/Peradilan bukan satu-satunya pemegang kekuasaan yudikatif.
Jelas terlihat bahwa DPR menjadi “lembaga super”, karena memegang kekuasaan legislatif, eksekutif (setidaknya: sebagian) dan yudikatif (setidaknya: sebagian) sekaligus. Dalam kondisi dimana hubungan antara anggota DPR dengan konstituen-nya tidak jelas, maka eksistensi DPR mendekati lembaga dengan kekuasaan yang “absolut”. Itu, tentu saja, ironis, karena “resmi”-nya, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensiil. Lord Acton punya ‘mantra’ yang sangat terkenal di dunia politik:”Absolute power corrupts absolutely“, atau “Kekuasaan absolut pasti korup”. Jadi jangan heran dengan sepak terjadi sebagian (besar?) anggota DPR kita yang menjurus pada praktek korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Ketidak-jelasan pembagian kekuasaan juga menyebabkan lemahnya pengawasan. Teorinya, lembaga yang melaksanakan sesuatu tidak boleh merangkap sebagai lembaga yang mengawasi, karena akan ada konflik kepentingan. itu berlaku di semua bidang, bukan hanya di pemerintahan. Gampangnya, kalau kita merasa punya kesalahan, maka kita akan lebih longgar dalam melakukan pengawasan, karena kalau tidak, akan menjadi bumerang bagi kita sendiri.
Dampaknya, seperti yang kita lihat sekarang ini. Korupsi terjadi di semua lembaga negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Kasus korupsi tidak hanya menjerat jajaran eksekutif, tapi juga lembaga peradilan/penegak hukum dan lembaga legislatif. Sistem yang baik saja belum menjamin segala sesuatunya menjadi baik. Apalagi kalau sistem-nya saja sudah rusak, atau setidaknya: tidak jelas. Yang jelas, yang sedang terjadi di Indonesia sekarang ini bukanlah penerapan konsep Trias Politica, tetapi Trias Korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar