Selasa, 11 Juni 2013

PRO KONTRA KETIDAKPASTIAN EKSEKUSI "PIDANA MATI"


      Pidana mati merupakan hukuman terberat dari jenis-jenis ancaman hukuman yang tercantum dalam KUHP bab 2 pasal 10. Karena pidana mati merupakan pidana terberat, yaitu: pelaksanaannya berupa perampasan terhadap kehidupan manusia, maka tidaklah heran apabila dalam menentukan pidana mati terdapat banyak pendapat yang pro dan kontra dikalangan ahli hukum ataupun masyarakat itu sendiri.
      Pidana mati tercantum di dalam KUHP diwarisi dari pemerintan kolonial dan tetap demikian ketika dinasionalisasikan dengan undang-undang Nomor 1 Tahun 1946. Bahkan sesudah Indonesia merdeka, beberapa undang-undang yang dikeluarkan kemudian, ternyata tercantum juga pidana mati didalamnya, dengan demikian, alasan bahwa pidana mati itu tercantum dalam W.v.S (KUHP) pada waktu diberlakukan oleh pemerintahan kolonial didasarkan pada alasan faktor rasial.
      Dalam hukum positif Indonesia kita mengenal dengan adanya hukuman mati atau pidana mati. Dalam KUHP Bab II mengenai Pidana, pasal 10 menyatakan mengenai macam-macam bentuk pidana, yaitu terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Dan pidana mati termasuk jenis pidana pokok yang menempati urutan yang pertama.
      Peraturan perundang-undang yang lain yang ada di Indonesia, juga banyak yang mencantumkan ancaman pemidanaan berupa pidana mati., misalkan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia, Perpu Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah disahkan menjadi Undang-undang.
      Namun perdebatan muncul ketika banyak orang yang mulai menanyakan apakah  pidana mati masih relevan atau layak diterapkan sebagai suatu hukuman di Indonesia. Pertanyaan tersebut dilontarkan bukan tanpa alasan, namun kebanyakan dari mereka menganggap pidana mati melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu hak untuk hidup. Hak itu terdapat dalam UUD 1945 pasal 28A yang mengatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” Mengenai upaya hukum yang dilakukan oleh pihak terpidana adalah suatu ketentuan-ketentuan yang telah diatur di dalam perundang-undangan berdasarkan tingkat pengajuan upaya hukum dari yang paling awal hingga yang paling akhir, dimana upaya hukum tersebut adalah merupakan suatu tindakan dari kerabat, kuasa hukum, maupun keluarga terpidana didalam memperjuangkan suatu pidana yang telah atau dijatuhkan kepada seorang terpidana berdasarkan kesalahan atau tindak pidana yang telah dilakukannya. 
      Mengenai hak asasi manusia (HAM), di Indonesia juga melindunginya dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini di tunjukan dengan adanya undang-undang yang mengatur mengenai HAM, yaitu. Dalam undang-undang ini mengenai hak hidup tercantum dalam pasal 9 ayat 1 yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”, secara sekilas pasal ini tidak jauh dengan ketentuan pasal 28A UUD 1945 yang tersebut di atas.
      Namun jika teliti lagi, dalam penjelasan pasal ini menyatakan setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan melekat pada bayi yang baru lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dibatasi.
      Dalam pembahasan terhadap upaya hukum adalah dengan melihat sejauh apa upaya tersebut dilakukan dan bagaimana lembaga yang bersangkutan dalam menilai upaya tersebutKasus-kasus berikut ini menggambarkan peradilan terhadap mereka yang menghadapituntutan pidana mati di Indonesia, yang tidak selalu sesuai dengan standar internasional dalam mendapatkan proses peradilan yang adil.
Hukum Pidana objektif berisi tentang berbagai macam perbuatan yang dilarang yang terhadap perbuatan-perbuatan itu telah ditetapkan ancaman pidana kepada barangsiapa yang melakukannya. 
      Sanksi pidana yang telah ditetapkan dalam UU tersebut kemudian oleh negara dijatuhkan dan dijalankan kepada pelaku perbuatan. Hak dan kekuasaan negara yang demikian merupakan suatu kekuasaan yang sangat besar, yang harus dicari dan diterangkan dasar-dasar pijaknnya.
      Mengenai teori-teori pemidanaan berhubungan langsung dengan pengertian hukum pidana subjektif tersebut. Teori-teori ini mencari dan menerangkan tentang dasar dari hak negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut. Pertanyaan seperti mengapa, apa dasarnya dan untuk apa pidana yang telah diancamkan itu dijatuhkan dan dijalankan, atau apakah alasannya bahwa negara dalam menjalankan fungsi menjaga dan melindungi kepentingan hukum dengan cara melanggar kepentingan hukum dan hak pribadi orang, adalah pertanyaan-pertanyaan mendasar dan menjadi pokok bahasan dalam teori-teori pemidanaan ini. Pertanyaan yang mendasar tersebut timbul berhubung bahwa dalam pelaksanaan hukum pidana subjektif itu berakibat diserangnya hak dan kepentingan hukum pribadi manusia tadi, yang justru dilindungi oleh hukum pidana itu sendiri
      Jelaslah kiranya pidana yang diancamkan itu telah diterapkan, justru menyerang kepentingan hukum dan hak pribadi manusia yang dilindungi oleh hukum. Tentulah hak untuk menjalankan hukum subjektif ini sangat besar sehingga hanya boleh dimiliki oleh negara saja. Mengenai negara yang seharusnya memiliki hak ini tidak ada perbedaan pendapat. Negara merupakan organisasi sosial tertinggi, yang bertugas dan berkewajiban menyelenggarakan dan mempertahankan tata tertib/ketertiban masyarakat. Dalam rangka melaksanakan kewajiban dan tugas itu, maka wajar jika negara melalui alat-alatnya diberi hak dan kewenangan untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana.
      Akan tetapi, mengenai jawaban atas pertanyaan dasar hak itu diberikan dan atau untuk kepentingan apa pidana perlu dijatuhkan, yang merupakan pertanyaan mendasar dari teori pemidanaan, terdapat berbagai pendapat Bagi hakim yang bijak ia akan menarik dan menetapkan amar putusan, ia lebih dulu merenungkan dan mempertimbangkan benar tentang manfaat apa yang akan dicapai dari penjatuhan pidana, baik bagi terdakwa, maupun masyarakat dan negara. 
      Pemaparan berikut adalah merupakan beberapa bentuk gambaran yang menjadi titik tolak ukur kontoversi terhadap pidana mati di Indonesia. Hukuman dan kemanusiaan adalah dua keping dari mata uang keadaban yang sama. Manusia adalah satu-satunya makhluk Tuhan yang dikaruniai kehendak bebas. Dengan kehendak sadarnya manusia memlilih untuk berbuat jahat. Untuk itu, hukuman hanya ditimpalkan kepada manusia, bukan makhluk lainnya. Perbuatan dan hukuman pun menjalin suatu hubungan kesetimpalan. Salah satu logika keadilan berbunyi, “kejahatan harus dibalas dengan hukuman yang setimpal”.
      Bentuk hukuman yang paling ultim adalah hukuman mati. Disebut ultim karena pelaku tidak sekedar diisolasi sementara dari masyarakat melainkan dilenyapkan secara total keberadaannya. Hukuman mati mengganjar pelaku kejahatan dengan sebuah fakta bernama kekosongan eksistensial. Apakah nyawa seseorang adalah harga yang layak dibayar untuk kejahatannya? Pertanyaan ini pasti dijawab dengan jeda yang cukup lama. Kita semua pasti akan menimbang. Prinsip kesetimpalan disini tidak dapat begitu saja dijadikan jawaban tanpa sengketa. Apakah nyawa harus diganti dengan nyawa? Pelaku terorisme menghilangkan ratusan nyawa dengan bom rakitannya. Apakah satu nyawanya cukup guna menggantikan nyawa yang hilang. Sebagian kita mungkin segara memberi afirmasi, nyawa harus berganti nyawa itu setimpal.
      Soal pokok yang menghantui hukuman mati adalah soal legitimasi Sayangnya, rule of the game yang berlaku pada sistem hukum kita adalah positivisme hukum. Bagi positivisme hukum, legitimasi dan legalitas tidak dapat dipisahkan. Apa yang sudah tertulis diaturan yang sudah dibuat sesuai prosedur otomatis sahih. Hal ini bisa membutakan kita atas skema nilai tertentu yang bersembunyi dibalik sistem hukum kita. Skema nilai tersebut biasanya bertopang pada lempeng kultural, entah itu sekular atau religius. Apapun, skema nilai tersebut sumir sampai kita mampu menerobos tembok positivisme guna melakukan analisa jurisprudensi secara mendalam
      Bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi hak asasi manusia , termasuk di dalamnya adalah hak-hak para terpidana. Berkaitan dengan hak-hak terpidana, timbul pemikiran-pemikiran baru mengenai fungsi pemidanan yang tidak lagi sekedar menekankan pada aspek pembalasan (retributive), tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi pelaku tindak pidana. Sistem pemidanaan sangat menekankan pada unsur balas dendam secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, konsep ini bertujuan agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga negara yang bertanggung jawab bagi diri sendiri, keluarga dan termasuk juga di dalam lingkunganya.
      Filosofi pemidanaan atas dasar pembalasan tersebut tidak lagi menjadi acuan utama di Indonesia. Hal ini ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan 013/PUU-I/2003 yang menyebutkan bahwa asas non-retroaktif lebih mengacu kepada filosofi pemidanaan atas dasar pembalasan (retributive), padahal asas ini tidak lagi merupakan acuan utama dari sistem pemidanaan di negara kita yang lebih merujuk kepada asas preventif dan edukatif. 
      Salah satu sebab hukuman mati dihapuskan di berbagai negara di dunia adalah kenyataan bahwaa hukuman mati dianggap merupakan suatu bentuk hukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia (cruel, inhuman or degrading treatment or punishment).
Kematian adalah sebuah hukuman yang kejam dan proses-proses hukum menentukan dibatalkan atau dilaksanakannya hukuman, yang membuat si terpidana menunggu dalam ketidakpastian, semakin menambah kekejaman tersebut. Hukuman mati juga berada di luar batas perikemanusiaan, karena dengan sendirinya merupakan pengingkaran terhadap kemanusiaan yang bersangkutan, hukuman mati juga merendahkan harkat yang bersangkutan karena hukuman mati menghapus segala harkat dan martabat apapun yang dimiliki si terpidana karena ia dinilai diperlakukan sebagai objek yang harus dieleminasi oleh negara. 
      Disamping delay dan ketidakpastian yang ditimbulkan selama menempuh proses hukum, banding, kasasi, peninjauan kembali maupun grasi, terdapat alasan lain mengapa hukuman mati dianggap sebagai bentuk perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia, yang bertentangan dengan pancasila yang merupakan falsafah bangsa Indonesia sila kedua “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab”
Pelaksanaan pidana mati yang ditunda-tunda tanpa jelas batas waktu yang tegas sesungguhnya suatu pemidanaan pula meskipun tidak dalam artian yuridis. 
      Dalam masa dewasa ini, itu merupakan semacam pelanggaran hak asasi manusia, yaitu membiarkan yang bersangkutan menderita tanpa mengetahui batas akhir waktu penderitaan. Bukankah kematian mengakhiri penderitaan? Jadi menunda eksekusi tanpa batas waktu yang jelas, itu suatu kekejaman tersendiri, diakui secara eksplisit atau tidak.
Pertanggungjawaban seperti tidak dapat dibenarkan secara moral dan etis dan bukan merupakan perbuatan yang terpuji. Apabila disertai dengan motivasi yang tidak jelas dengan mengulur-mengulur waktu eksekusi. Dalam hal ini penguasa telah npa melakukan penodaan terhadap hak asasi manusia yang telah dijamin oleh pasal 28 (1) Amandemen kedua UUD 1945. Jika terpidana mati dibiarkan tanpa kepastian dalam tenggang waktu yang lama, sesungguhnya ia juga mengalami penganiayaan rohani, penyiksaan psikis dan pengurasan mental.
      Maka di dalam rencana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Nasional) yang akan datang diterapkan bahwa yang telah dipidana mati oleh pengadilan dan setelah berusaha melalui upaya hukum, banding, kasasi, peninjauan kembali, dan grasi, juga tidak berhasil, maka kepada yang bersangkutan diberikan waktu untuk memperbaiki diri selama sepuluh tahun. Kalau dalam waktu sepuluh tahun yang bersangkutan betul-betul sudah bertobat dalam artian yang luas, kepadanya diberikan oleh yang berkuasa untuk diubah pidananya menjadi seumur hidup.
      Pidana mati dahulu kala lazimnya dilakukan secara extra murral. Artinya dilaksanakan di luar tembok penjara. Pada waktu itu pelaksanaan pidana mati melalui tiang gantungan dengan seorang algojo sebagai pelaksana. Pidana mati diselenggarakan di lapangan terbuka dengan harapan agar pidana mati dapat dijadikan semacam ancaman (detterent) yang menakutkan bagi calon penjahat.
      Jika ditelusuri lebih jauh, tidak hanya aspek rohani, psikis, dan mental yang diderita terpidana mati, mereka juga mengalami apa yang dinamakan dengan viktimisasi secara terselubung. Konsekuensinya, hukuman mati dengan sendirinya akan kehilangan sifat menakutkan (deterrent). Sebab pidana yang tidak dijalankan dengan segera, jelas akan memberikan kesan yang keliru bagi para calon penjahat atau pelaku yang kemungkinan akan mendapat ganjaran pidana yang sama .para terpidana mati juga akan merasa telah dibunuh sebelum eksekusi berlangsung. Tiap hari mereka menghitung menit demi menit, detik demi detik. Kapan petugas penjara di suatu malam, datang mengetuk pintu sel dan memberi tahu mereka untuk melakukan doa terakhir sebelum diantar ke tiang eksekusi.
      Selama era reformasi sejak 1998 hingga desember 2009, terpidana mati yang telah dieksekusi sebanyak 21 orang. Tiga besar kasus yang melatari eksekusi pidana mati adalah pembunuhan, narkoba/psikotropika, dan terorisme. Dan tahun 2008 adalah tahun yang paling banyak dilakukannya eksekusi pidana mati. Yakni 10 orang dengan urutan kasus pembunuhan (5) orang, narkoba dan psikotropika (2) orang, dan sisanya adalah terorisme (3) orang.
      Yang menjadi dasar Pro dan Kontra Pidana Mati Di Indonesia adalah Secara realita suatu  peraturan perundang-undangan tidaklah selalu bersifat absolut, selama peraturan perundang-undangan tersebut hasil temuan dan rumusan manusia. Sering ditemui suatu peraturan perundang-undangan dianggap sudah tidak patut lagi untuk diterapkan baik karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya maupun karena faktor lain.  Dalam praktik ditemukan peraturan perundang-undangan masa ke masa mengalami beberapa perkembangan dalam bentuk penyempurnaan dan perubahan. 
      Bahkan sering terjadi suatu ketentuan peraturan perundang-undangan tertentu dicabut atau sudah tidak berlaku lagi. Setiap ahli hukum, aktivis hak asasi manusia dan lain sebagainya selalu menyandarkan pendapat pro dan kontra pada lembaga pidana mati dengan alasan yang logis dan rasional.Bentuk pidana ini merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas jiwa seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana ini  juga merupakan hukuman tertua dan paling kontroversial dari berbagai bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketentraman yang sangat ditakuti oleh umum.
      Upaya Hukum Yang Dilakukan Oleh Pihak Terpidana adalah berupa suatu ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh perundang-undangan dimana ketentuan itu memberikan hak kepada seorang terpidana atau kuasa hukumnya untuk melakukan pembelaan terhadap vonis yang telah dijatuhan oleh Pengadilan kepadanya, adapun jenis upaya hukum itu meliputi Banding, Kasasi, Kasasi Demi Kepentingan Hukum, peninjauan Kembali (PK), dan Grasi. Namun dalam pelaksanaan hingga penerapan upaya hukum yang ditempuh oleh terpidana dan pihak terpidana sering tidak sejalan dengan Undang-undang Dasar maupun peraturan yang mengatur beberapa upaya hukum tersebut, sehingga terkadang menimbulkan ketidakpastian dari manfaat dilakukannya upaya hukum itu.
      Maka didalam artikel ini saya mempunyai saran dan harapan yang besar agar kiranya adanya kepastian bagi terpidana mati dalam menunggu eksekusi hukuman mati, sehingga lamanya proses eksekusi terhadap terpidana mati yang memakan waktu selama bertahun-tahun dapat dihindarkan. Seperti halnya banding, kasasi, dan peninjauan kembali dapat dihilangkan, sehingga penjatuhan hukuman mati tidak memakan waktu yang panjang.
      Adanya kemungkinan modifikasi terhadap hukuman mati yang telah berkekuatan hukum tetap atas pertimbangan adanya perubahan/perbaikan pada diri pelaku selama menjalani pidananya. Seperti dalam RUU-KUHP,juga perlunya batasan waktu yang tegas untuk menyampaikan permohonan grasi oleh terpidana, karena dalam Undang-Undang No.22 Tahun 2002 tentang grasi belum mencantumkan batas waktu pengajuan permohonan grasi oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan terhadap terpidana.




1 komentar:

  1. Saya hanya bisa berkata, "Tegakkan Keadilan". . semangat bwt Indonesia....

    BalasHapus